Pelarangan plastik idealnya perlu diimbangi dengan pengelolaan sampah dan insentif finansial untuk mengubah kebiasaan konsumen dan pelaku industri
Sampah plastik menjadi masalah global yang dewasa ini mendapat perhatian lebih dari banyak negara. Sebagai material yang butuh waktu lama untuk terurai, produk berbahan plastik akan terus ada dan menumpuk di dunia dalam waktu yang lama.
Berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) tentang plastik sekali pakai, lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi pada 2015. Dari jumlah tersebut, 36 persen di antaranya untuk kantong kemasan sekali pakai yang kerap kita temui setiap hari.
Jumlah sampah plastik yang ada di dunia saat ini sudah mencapai angka 300 juta ton dalam setahun. Mengutip dari BBC (8/8/2019), jumlah sampah plastik sebanyak ini jika dipadatkan akan sama dengan 10 kali keliling bumi.
Berangkat dari masalah tersebut, lebih dari 60 negara mengambil langkah praktis dengan melakukan pembatasan penggunaan sampah plastik. Ada yang melakukan pelarangan total, ada juga yang partial lewat pengenaan cukai, seperti yang dilakukan Indonesia.
Dampaknya sendiri bisa dibilang cukup signifikan. Menurut Head of UN Environment Erik Solheim, Rwanda, negara yang menjadi pionir pelarangan kantong plastik sekali pakai, saat ini menjadi salah satu negara paling bersih di dunia.
Meski begitu, tidak lantas pelarangan plastik menjadi solusi pemungkas. Solheim bahkan melabeli plastik sebagai "material ajaib" yang 'jasa'nya sudah banyak bagi dunia, sehingga kebiasaan manusialah yang lebih penting untuk berubah.
"Plastik bukanlah masalah. Persoalannya adalah apa yang kita lakukan dengan itu dan itu berarti tanggung jawabnya ada di kita untuk lebih bijaksana dalam menggunakan material ajaib ini," tuturnya.
Berdasarkan kesimpulan dari laporan yang sama, pelarangan plastik idealnya perlu diimbangi dengan pengelolaan sampah dan insentif finansial untuk mengubah kebiasaan konsumen dan pelaku industri, sehingga nantinya dapat didorong terbentuknya model sirkular dalam produksi plastik, dari sampah plastik kembali menjadi plastik lagi.
Laporan asosiasi manufaktur plastik, PlasticsEurope, juga menyebutkan, “Di akhir masa hidupnya, plastik masih menjadi sumber daya yang sangat berharga, karena bisa diubah menjadi bahan baku baru atau menjadi energi."
Dalam model sirkular produksi plastik, pada fase pemakaian, plastik bisa dipakai berulang kali sebelum sepenuhnya menjadi sampah. Saat menjadi sampah pun plastik punya tiga alternatif konversi, yakni bisa menjadi sumber energi, bisa menjadi campuran bahan baku kimiawi ataupun bahan baku untuk pengolahan mekanis. Langkah-langkah penanggulangan ulang plastik inilah yang dilihat sebagai solusi untuk permasalahan plastik.
Pada praktiknya, negara-negara di Eropa juga mulai menerapkan skema reproduksi dari sampah plastik. Masih merujuk data yang dipaparkan PlasticsEurope, dari total 27,1 juta ton sampah plastik yang dikumpulkan di Benua Biru pada tahun 2016, sebesar 31,1 persen didaur ulang dan 41,6 persen diolah menjadi energi. Ini membuat hanya sekitar 27,3 persen sampah plastik yang ditumpuk di tempat pembuangan akhir.
(ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar)
Subtitusi kantong plastik tidak lebih baik
Terlepas dari dampak yang ditimbulkan oleh sampahnya, kantong plastik sampai sejauh ini masih menjadi produk wadah serbaguna yang paling ramah lingkungan.
Sebuah studi dari Environment Agency --lembaga lingkungan Inggris-- menjabarkan kalaupun plastik memiliki dampak lingkungan, terkait potensi pemanasan global, masih lebih baik dibanding kantong lain yang menjadi subtitusinya. Hal ini dilihat dari proses produksi sampai dikonsumsi. Kantong kertas misalnya, harus dipakai setidaknya tiga kali agar memiliki dampak lingkungan yang setara dengan kantong plastik. Sementara totte bagyang berbahan kain bahkan harus digunakan kembali sampai 131 kali agar memiliki nilai dampak lingkungan yang setara dengan kantong plastik.
"Produksinya butuh energi dan air yang lebih banyak dan juga bobotnya lebih berat. Jadi bergantung dari mana asalnya dibuat, akan berdampak pada lingkungan juga dalam distribusinya ke toko-toko," kata pakar pengelola lingkungan Profesor Margaret Bates kepada BBC(5/11/2019).
Sementara jika mau menelisik dari sejarahnya, kantong plastik dibuat untuk menyelamatkan bumi.
Pada tahun 1959, insinyur asal Swedia bernama Sten Gustaf Thulin menciptakan kantong plastik sebagai alternatif dari kantong kertas. Produksi kertas yang mendorong penebangan pohon di hutan dinilai berbahaya bagi lingkungan.
Kantong plastik yang lebih kuat dan tahan lama diproyeksikan dapat dipakai berulang kali sehingga lebih menarik dibanding kantong kertas.
Namun kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan kantong plastik, justru membuat tren penggunaan kantong plastik hanya menjadi sekali pakai. Dampaknya, sampah plastik jadi menumpuk dan mulai digembar-gemborkan sebagai material yang mengontaminasi lingkungan.
"Bagi ayah saya, membuang kantong plastik sehabis digunakan adalah hal yang aneh. Dia selalu membawa kantong plastik yang dilipat dalam sakunya. Jadi ketika sekarang kita membawa kantong sendiri ketika berbelanja, dia sudah melakukannya pada tahun 1970an, 1980an. Itu selalu dilakukan, karena baginya begitulah seharusnya," ujar anak dari Sten, Raoul Thulin, dalam wawancaranya dengan BBC (5/11/2019).
Jadi daripada melihat kantong plastik sebagai sesuatu yang perlu dihindari, alangkah baiknya kalau penggunaan kantong plastik dimaksimalkan. Sebelum menjadi limbah yang merusak lingkungan, pergunakan plastik berulang-ulang. Setelah benar-benar rusak, konversikan sampah plastik menjadi energi atau sumber bagi pembuatan plastik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar